Minggu, 06 April 2014

Thrue or False Popularity

ketika fakta di depan mata memaku kata popularitas bukan kapabilitas, menjadikan rakyat nggak cerdas yang akibatnya bisa ditindas. Pemilu yang meriah di tambah dana yang wah, mengucur triliunan rupiah. Tapi belakangan ini golput meningkat, para petinggi masih saja enggan mengoreksi diri. Masih taksadar atau….?? bahwa Itu autokritik bagi mereka.
Dana segar yang mengucur tidaklah sesegar yang terlihat, melainkan tipuan semu hutang piutang. Mulai dari pemerintah, para caleg –yang belum tentu jadi- di back up oleh cukong-cukong yang berslogan ala Amerika “No free Lunch”. Kursi yang tadinya empuk menjadi panas, hutang yang harus di kembalikan para caleg berupa kompensasi pada korporasi-korporasi, jika sudah terlunasi saatnya mengembalikan modal. Siap korup!
That’s not only party but a game, “Political outlook 2014, Indonesia Menuju Negara Korporasi”. Dirasa bertele-tele ketika para pemilik modal alias korporasi di belakang layar, saatnya mereka menunjukkan taringnya yang di pandang praktis. Bukan untuk kepentingan rakyat tetapi demi kepentingan bisnis merangkap politisi dan pebisnis. Negara korporasi yang beberapa waktu lalu didengung-dengungkan di Argentina. Dimana dikatakan bahwa negara yang digerakkan kaum pebisnis ini tak segan merusak lingkungan. Saatnya eksploitasi penguasaan politik dan ekonomi.
Wow! akibatnya juga nggak main-main, salah satunya kader partai yang duduk di parlemen menjadi alat legitimasi bagi nafsu politik, akibatnya aset yang seharusnya di gunakan untuk kepentingan rakyat bisa di jual. Negara korporasi yang tidak terlepas dari sistem demokrasi-sekuler. Dimana di indonesia pada pemilu 2014 bakal menjadi pintu utamanya. Faktornya jelas terlihat ketika para pemilik modal, pengusaha dan cukong-cukong mendominasi, perubahan Indonesia ke arah negara korporasi sangat mungkin terjadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar