ketika
fakta di depan mata memaku kata popularitas bukan kapabilitas,
menjadikan rakyat nggak cerdas yang akibatnya bisa ditindas. Pemilu yang
meriah di tambah dana yang wah, mengucur triliunan rupiah. Tapi
belakangan ini golput meningkat, para petinggi masih saja enggan
mengoreksi diri. Masih taksadar atau….?? bahwa Itu autokritik bagi
mereka.
Dana
segar yang mengucur tidaklah sesegar yang terlihat, melainkan tipuan
semu hutang piutang. Mulai dari pemerintah, para caleg –yang belum tentu
jadi- di back up oleh cukong-cukong yang berslogan ala Amerika “No free
Lunch”. Kursi yang tadinya empuk menjadi panas, hutang yang harus di
kembalikan para caleg berupa kompensasi pada korporasi-korporasi, jika
sudah terlunasi saatnya mengembalikan modal. Siap korup!
That’s
not only party but a game, “Political outlook 2014, Indonesia Menuju
Negara Korporasi”. Dirasa bertele-tele ketika para pemilik modal alias
korporasi di belakang layar, saatnya mereka menunjukkan taringnya yang
di pandang praktis. Bukan untuk kepentingan rakyat tetapi demi
kepentingan bisnis merangkap politisi dan pebisnis. Negara korporasi
yang beberapa waktu lalu didengung-dengungkan di Argentina. Dimana
dikatakan bahwa negara yang digerakkan kaum pebisnis ini tak segan
merusak lingkungan. Saatnya eksploitasi penguasaan politik dan ekonomi.
Wow!
akibatnya juga nggak main-main, salah satunya kader partai yang duduk
di parlemen menjadi alat legitimasi bagi nafsu politik, akibatnya aset
yang seharusnya di gunakan untuk kepentingan rakyat bisa di jual. Negara
korporasi yang tidak terlepas dari sistem demokrasi-sekuler. Dimana di
indonesia pada pemilu 2014 bakal menjadi pintu utamanya. Faktornya jelas
terlihat ketika para pemilik modal, pengusaha dan cukong-cukong
mendominasi, perubahan Indonesia ke arah negara korporasi sangat mungkin
terjadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar